1. Asal Usul
Pasukan Demak hampir saja menderita kekalahan, namun berkat siasat Sunan Kalijaga, dan bantuan pusaka Raden Patah yang dibawa dari Palembang kedudukan Demak dan Majapahit akhinya berimbang.
Contohnya,
bila seorang isteri orang jawa hamil tiga bulan maka akan dilakukan
acara selamatan yang disebut mitoni sembari minta kepada dewa bahwa bila
anaknya lahir supaya tampan seperti Arjuna, jika anaknya perempuan supaya cantik seperti Dewi Ratih.
Menurut
salah satu sumber, Sunan Kudus adalah putera Raden Usman haji yang
bergelar Sunan Ngudung dari Jipang Panolan. Ada yang mengatakan letak
Jipang Panolan ini disebelah utara kota Blora. Di dalam babad tanah
jawa, disebutkan bahwa Sunan Ngudung pernah memimpin pasukan Majapahit.
Sunan ngudung selaku senopati Demak berhadapan dengan Raden Husain atau
Adipati Terung dari Majapahit. Dalam pertempuran yang sengit dan saling
mengeluarkan aji kesaktian itu Sunan Ngudung gugur sebagai pahlawan
sahid. Kedudukannya sebagai senopati Demak kemudian digantikan oleh sunan Kudus yang puteranya sendiri yang bernama asli Ja’far Sodiq.
Pasukan Demak hampir saja menderita kekalahan, namun berkat siasat Sunan Kalijaga, dan bantuan pusaka Raden Patah yang dibawa dari Palembang kedudukan Demak dan Majapahit akhinya berimbang.
Selanjutnya
melalui jalan diplomasi yang dilakukan Patih Wanasalam dan Sunan
Kalijaga, peperangan itu dapat dihentikan. Adipati Terung yang memimpin
laskar Majapahit diajak damai dan bergabung dengan Raden Patah yang
ternyata adalah kakaknya sendiri. Kini keadaan berbalik. Adipati Terung
dan pengikutnya bergabung dengan tentara Demak dan menggempur tentara
Majapahit hingga ke belahan timur. Pada akhirnya perang itu dimenangkan
oleh pasukan Demak.
2. Guru-gurunya
Disamping
belajar agama kepada ayahnya sendiri, Ja’far Sodiq juga belajar kepada
beberapa ulama terkenal. Diantaranya kepada Kiai Telingsing, Ki Ageng
Ngerang dan Sunan Ampel.
Nama
asil Kiai Telingsing ini adalah Ling Sing, beliau adalah seorang ulama
dari negeri cina yang datang ke pulau jawa bersama laksamana jenderal
Cheng Hoo. Sebagaimana disebutkan dalam sejarah, jenderal Cheng Hoo yang
beragama Islam itu datang ke pulau jawa untuk mengadakan tali
persahabatan dan menyebarkan agama Islam melalui perdagangan.
Di
jawa, the Ling Sing cukup dipanggil dengan sebutan Telingsing, beliau
tinggal di sebuah daerah subur yang terletak diantara sungai
Tanggulangin dan sungai Juwana sebelah Timur. Disana beliau bukan hanya
mengajarkan Islam, melainkan juga mengajarkan kepada penduduk seni ukir
yang indah.
Banyak
yang datang berguru seni kepada Kiai Telingsing, termasuk Ja’far Sodiq
itu sendiri. Dengan belajar kepada ulama yang berasal dari cina itu,
Raden Ja’far Sodiq mewarisi bagian dari sifat positif masyarakat cina
yaitu ketekunan dan kedisiplinan dalam mengejar atau mencapai cita-cita.
Hal ini berpengaruh besar bagi kehidupan dakwah Ja’far Sodiq dimasa
akan datang yaitu tatkala menghadapi masyarakat yang kebanyakan masih
beragama Hindu dan Budha.
Selanjutnya, Raden Ja’far Sodiq juga berguru kepada Sunan Ampel di Surabaya selama beberapa tahun.
3. Cara Berdakwah yang Luwes
A. Strategi Pendekatan kepada Massa
Sunan
Kudus termasuk pendukung gagasan, Sunan Kalijaga dan Sunan Bonang yang
menerapkan strategi dakwah kepada masyarakat sebagai berikut :
1. Membiarkan
dulu adat istiadat dan kepercayaan lama yang sukar dirubah. Mereka
sepakat untuk tidak mempergunakan jalan kekerasan atau radikal
menghadapi masyarakat yang demikian.
2. Bagian adat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam tetapi mudah dirubah maka segera dihilangkan.
3. Tut
Wuri Handayani, artinya mengikuti dari belakang terhadap kelakuan dan
adat rakyat tetapi diusahakan untuk dapat mempengaruhi sedikit demi
sedikit dan menerapkan prinsip Tut Wuri Hangiseni, artinya mengikuti
dari belakang sambil mengisi ajaran agama Islam.
4. Menghindarkan
konfrontasi secara langsung atau secara keras didalam cara menyiarkan
agama Islam. Dengan prinsip mengambil ikan tetapi tidak mengeruhkan
airnya.
5. Pada
akhirnya boleh saja merubah adat dan kepercayaan masyarakat yang tidak
sesuai dengan ajaran Islam tetapi dengan prinsip tidak menghalau
masyarakat dari umat Islam. Kalangan umat Islam yang sudah tebal imannya
harus berusaha menarik simpati masyarakat non muslim agar mau mendekat
dan tertarik dengan ajaran Islam. Hal itu tak bisa mereka lakukan
kecuali dengan konsekuen. Sebab dengan melaksanakan ajaran Islam secara
lengkap otomatis tingkah laku dan gerak-gerik mereka sudah merupakan
dakwah nyata yang dapat memikat masyarakat non-muslim.
Strategi
dakwah ini diterapkan oleh Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Muria,
Sunan Kudus dan Sunan Gunung Jati. Karena siasat mereka dalam berdakwah
tak sama dengan garis yang ditetapkan oleh Sunan Ampel maka mereka
disebut kaum Abangan atau Aliran Tuban. Sedang pendapat Sunan Ampel yang
didukung Sunan Giri dan Sunan Drajad disebut Kaum Putihan atau Aliran
Giri.
Namun atas inisiatif Sunan Kalijaga, kedua pendapat yang berbeda itu pada akhinya dapat dikompromikan.
B. Merangkul Masyarakat Hindu
Di
Kudus pada waktu itu penduduknya masih banyak yang beragama Hindu dan
Budha. Untuk mengajak mereka masuk Islam tentu bukannya pekerjaan mudah.
Terlebih mereka yang masih memeluk kepercayaan lama dan memegang teguh
adat-istiadat lama, jumlahnya tidak sedikit. Di dalam masyarakat seperti
itulah Ja’far Sodiq harus berjuang menegakkan agama.
Pada
suatu hari Sunan Kudus atau Ja’far Sodiq membeli seekor sapi (dalam
riwayat lain disebut Kebo Gumarang). Sapi tersebut berasal dari Hindia,
dibawa para pedagang asing dari kapal besar.
Sapi itu ditambatkan dihalaman rumah Sunan Kudus.
Rakyat
Kudus yang kebanyakan beragama Hindu itu tergerak hatinya, ingin tahu
apa yang akan dilakukan Sunan Kudus terhadap sapi itu. Sapi dalam
pandangan Hindu adalah hewan suci yang menjadi kendaraan para dewa.
Menyembelih sapi adalah perbuatan dosa yang dikutuk para dewa. Lalu apa
yang dilakukan Sunan Kudus?
Apakah
Sunan Kudus hendak menyembelih sapi dihadapan rakyat yang kebanyakan
justru memujanya dan menganggap binatang keramat. Itu berarti Sunan
Kudus melukai hati rakyatnya sendiri.
Dalam
tempo singkat halaman rumah Sunan Kudus dibanjiri rakyat, baik yang
beragama Islam maupun Budha. Setelah jumlah penduduk yang datang
bertambah banyak, Sunan Kudus keluar dari dalam rumahnya.
Sedulur-sedulur
yang saya hormati, segenap sanak kadang yang saya cintai, Sunan Kudus
membuka suara. Saya melarang saudara-saudara menyakiti apalagi
menyembelih sapi. Sebab diwaktu saya masih kecil, saya pernah mengalami
saat yang berbahaya, hampir mati kehausan lalu seekor sapi datang
menyusui saya.
Mendengar
cerita tersebut para pemeluk agama Hindu terkagum-kagum. Mereka
menyangka Ja’far Sodiq itu adalah titisan dewa Wisnu, maka mereka
bersedia mendengarkan ceramahnya. Demi rasa hormat saya kepada jenis
hewn yang pernah menolong saya, maka dengan ini saya melarang penduduk
Kudus menyakiti atau menyembelih sapi.
Kontan para penduduk terpesona atas kisah itu.
Sunan
kudus melanjutkan, salah satu diantara surat-surat Al-Qur’an yaitu
surat yang kedua dinamakan Surat Sapi atau dalam bahasa Arabnya
Al-Baqarah, kata Sunan Kudus.
Masyarakat
semakin tertarik. Kok ada sapi di dalam Al-Qur’an mereka menjadi ingin
tahu lebih banyak dan untuk itulah mereka harus sering-sering datang
mendengarkan keterangan Sunan Kudus.
Demikianlah,
sesudah simpati itu berhasil diraih akan lapanglah jalan untuk mengajak
masyarakat berduyun-duyun masuk agama Islam.
Bentuk
mesjid yang dibuat Sunan Kudus pun tak jauh bedanya dengan candi-candi
milik orang Hindu. Lihatlah menara Kudus yang antik itu, yang hingga
sekarang dikagumi orang di seluruh dunia karena keanehannya. Dengan
bentuknya yang mirip candi itu orang-orang Hindu merasa akrab dan tidak
takut atau segan masuk ke dalam mesjid guna mendengarkan ceramah Sunan
Kudus.
C. Merangkul Masyarakat Budha
Sesudah
berhasil menarik umat Hindu kedalam agama Islam hanya karena sikap
toleransi yang tinggi, yaitu menghormati sapi yang dikeramatkan umat
Hindu dan membangun menara mesjid mirip dengan candi Hindu. Kini Sunan
Kudus bermaksud menjaring umat Budha. Caranya? Memang tidak mudah, harus
kreatif dan tidak bersifat memaksa.
Sesudah
mesjid berdiri, Sunan Kudus membuat padasan atau tempat wudhu dengan
pancuran yang berjumlah delapan. Masing-masing pancuran diberi arca
kepala kebo gumarang diatasnya. Hal ini disesuaikan dengan ajaran Budha,
“Jalan berlipat delapan” atau Sanghika Marga” yaitu :
1. Harus memiliki pengetahuan yang benar
2. Mengambil keputusan yang benar
3. Berkata yang benar
4. Hidup dengan cara yang benar
5. Bekerja dengan benar
6. Beribadah dengan benar
7. Dan menghayati agama dengan benar.
Usahanya
pun membuahkan hasil, banyak umat Budha yang penasaran, untuk itu Sunan
Kudus memasang lambang wasiat Budha itu di padasan atau tempat
berwudhu, sehingga mereka berdatangan ke mesjid untuk mendengarkan
keterangan Sunan Kudus.
D. Selamatan Mitoni
Didalam
cerita tutur disebutkan bahwa Sunan Kudus itu pada suatu ketika gagal
mengumpulkan rakyat yang masih berpegang teguh pada adat istiadat lama.
Seperti
diketahui, rakyat jawa banyak melakukan adat istiadat yang aneh, yang
kadang kala bertentangan dengan ajaran Islam, misalnnya berkirim sesaji
dikuburan untuk menunjukkan bela sungkawa atau berduka cita atas
meninggalnya salah seorang anggota keluarga, selamatan neloni. Mitoni
dan lain-lain. Sunan Kudus sangat memperhatikan upacara-upacara ritual
tersebut dan berusaha sebaik-baiknya untuk merubah atau mengarahkannya
dalam bentuk Islami. Hal ini dilakukan juga oleh Sunan Kalijaga dan
Sunan Muria.
Adat
tersebut tidak ditentang secara keras oleh Sunan Kudus. Melainkan
diarahkan dalam bentuk Islami. Acara selataman boleh terus dilakukan
tapi niatnya bukan sekedar kirim sesaji kepada para dewa, melainkan
bersedekah kepada penduduk setempat dan sesaji yang dihidangkan boleh
dibawa pulang. Sedangkan permintaannya langsung kepada Allah dengan
harapan anaknya lahir laki-laki akan berwajah seperti nabi Yusuf, dan
bila perempuan seperti Siti Maryam ibunda Nabi Isa. Untuk itu sang ayah
dan ibu harus sering membaca surat Yusuf dan surat Maryam dalam
Al-Qur’an.
Sebelum
acara selamatan dilaksanakan diadakanlah pembacaan Layang Ambiya atau
sejarah para Nabi. Biasanya yang dibaca adalah bab Nabi Yusuf. Hingga
sekarang acara pembacaan Layang Ambiya yang berbentuk tembang
Asmarandana, Pucung dll itu masih hidup di kalangan masyarakat pedesaan.
Berbeda
dengan cara lama, pihak tuan rumah membuat sesaji dari berbagai jenis
makanan, kemudian diikrarkan (hajatkan dihajatan) oleh sang dukun atau
tetua masyarakat setelah upacara sakral itu dilakukan sesajinya tidak
boleh dimakan melainkan diletakkan di candi, di kuburan atau
tempat-tempat sunyi dilingkungan tuan rumah.
Ketika
pertama kali melaksanakan gagasannya, Sunan Kudus pernah gagal, yaitu
beliau mengundang seluruh masyarakat. Baik yang Islam maupun yang Hindu
dan Budha ke dalam mesjid. Dalam undangan disebutkan hajat Sunan Kudus
yang hendak Mitoni dan bersedekah atas hamilnya sang isteri yang telah
tiga bulan.
Sebelum
masuk mesjid, rakyat harus membasuh kaki dan tangannya dikolam yang
sudah disediakan. Dikarenakan harus membasuh tangan dan kaki inilah
banyak rakyat yang tidak mau, terutama dikalangan Hindu dan Budha.
Inilah kesalahan Sunan Kudus. Beliau terlalu mementingkan pengenalan
syariat berwudhu kepada masyarakat, tapi akibatnya masyarakat malah
menjauh. Apa sebabnya? Karena iman mereka atau tauhid mereka belum
terbina.
Maka
pada kesempatan lain, Sunan Kudus mengundang masyarakat lagi. Kali ini
tidak usah membasuh tangan dan kakinya waktu masuk mesjid, hasilnya
sungguh luar biasa. Masyarakat berbondong-bondong memenuhi undangannya,
disaat inilah Sunan Kudus menyisipkan bab keimanan dalam agama Islam
secara halus dan menyenangkan rakyat. Caranya menyampaikan materi cukup
cerdik, ketika rakyat tengah memusatkan perhatiannya pada keterangan
sunan Kudus tetapi karena waktu sudah terlalu lama, dan dikuatirkan
mereka jenuh Sunan Kudus mengakhiri ceramahnya.
Cara
tersebut kadang mengecewakan, tapi disitulah letak segi positipnya,
rakyat ingin tahu kelanjutan ceramahnya. Dan pada kesempatan lain mereka
datang lagi ke mesjid, baik dengan undangan maupun tidak, karena ingin
tahu itu demikian besar mereka tak peduli lagi pada syarat yang diajukan
Sunan Kudus yaitu membasuh kaki dan tangannya lebih dahulu, yang
lama-lama menjadi kebiasaan untuk berwudhu.
Dengan
demikian Sunan Kudus berhasil menebus kesalahannya dimasa lalu. Rakyat
menaruh simpati dan menghormatinya. Cara-cara yang ditempuh untuk
mengislamkan masyarakat cukup banyak. Baik secara langsung melalui
ceramah agama maupun adau kesaktian dan melalui kesenian, beliaulah yang
pertama kali menciptakan tembang Mijil dan Maskumambang. Didalam
tembang-tembang tersebut beliau sisipkan ajaran-ajaran agama Islam.
Sunan Kudus di Negeri Mekkah
Didalam legenda dikisahkan bahwa Raden Ja’far Sodiq itu suka mengembara, baik ke tanah Hindustan maupun ke tanah Suci Mekkah.
Sewaktu
berada di Mekkah beliau menunaikan ibadah haji. Dan kebetulan disana
ada wabah penyakit yang sukar diatasi. Penguasa negeri arab mengadakan
sayembara, siapa yang berhasil melenyapkan wabah penyakit itu akan
diberi hadiah harta benda yang cukup besar jumlahnya.
Sudah
banyak orang mencoba tapi tidak pernah berhasil. Pada suatu hari Sunan
Kudus atau Ja’far Sodiq menghadap penguasa negeri itu tapi kedatangannya
disambutnya dengan sinis.
Dengan apa tuan akan melenyapkan wabah penyakit itu? Tanya sang Amir.
Dengan doa jawab Ja’far Sodiq singkat.
Kalau
hanya doa kami sudah puluhan kali melakukannya, di tanah arab ini
banyak ulama dan syekh-syekh ternama. Tapi mereka tak pernah berhasil
mengusir wabah penyakit ini.
Saya
mengerti memang tanah arab ini gudangnya para ulama. Tapi jangan lupa
ada saja kekurangannya sehingga doa mereka tidak terkabulkan, kata
Ja’far Sodiq.
Hem, sungguh bernai tuan mengatakan demikian, kata amir itu dengan nada berang. Apa kekurangan mereka?
Anda
sendiri yang menyebabkannya, kata Ja’far Sodiq dengan tenangnya. Anda
telah menjanjikan hadiah yang menggelapkan mata hati mereka sehingga doa
mereka tidak ikhlas. Mereka berdoa hanya karena mengharapkan hadiah.
Sang Amir pun terbungkam seribu bahasa atas jawaban itu.
Ja’far
Sodiq lalu dipersilahkan melaksanakan niatnya. Kesempatan itu tak
disia-siakan. Secara khusus Ja’far Sodiq berdoa dan membaca beberapa
amalan. Dalam tempo singkat wabah penyakit mengganas dinegeri arab telah
menyingkir. Bahkan beberapa orang yang menderita sakit keras secara
mendadak langsung sembuh.
Bukan
main senangnya hati sang Amir. Rasa kagum mulai menjalari hatinya.
Hadiah yang dijanjikannya bermaksud diberikan kepada Ja’far Sodiq.
Tapi
Ja’far Sodiq menolaknya, dia hanya ingin minta sebuah batu yang berasal
dari Baitul Maqdis. Sang Amir mengijinkannya. Batu itu pun dibawa ke
tanah jawa, dipasang di pengimaman mesjid Kudus yang didirikannya
sekembali dari tanah suci.
Rakyat
kota Kudus pada waktu itu masih banyak yang beragama Hindu dan Budha.
Para wali mengadakan sidang untuk menentukan siapakah yang pantas
berdakwah di kota itu. Pada akhirnya Ja’far Sodiq yang bertugas didaerah
itu. Karena mesjid yang dibangunnya dinamakan Kudus maka Raden Ja’far
Sodiq pada akhirnya disebut Sunan Kudus.